TRADISI tetesan anak perempuan, atau semacam sunatan pada anak lelaki, masih berkembang di pedesaan di wilayah Klaten. Tradisi tersebut diyakini sebagai upacara tolak bala atau ruwatan bagi anak perempuan, agar hidupnya bahagia di masa datang. Jika seorang anak perempuan tidak disunat, diyakini akan mengalami berbagai cobaan saat dewasa. Misal tidak bisa hamil atau susah saat melahirkan. Salah seorang dukun sunat, Ny Legiyem (60) warga Wanteyan, Bakungan, Karangdowo mengemukakan, ada seorang perempuan yang saat hamil susah melahirkan, setelah ditanyakan pada ‘orang pintar’ disarankan agar ibu tersebut disunat, karena pada saat kecil belum disunat. Setelah dilakukan upacara sunatan, tidak lama kemudian ibu itupun melahirkan. “Pernah ada ibu muda mengalami kesulitan saat melahirkan, ternyata waktu kecil tidak disunat. Setelah yang bersangkutan disunat, bayinya cepat lahir,” katanya. Tetesan biasa dilakukan pada anak perempuan usia sekitar 7 tahun. Diawali dengan upacara menyucikannya memakai kembang setaman. Setelah mandi air kembang setaman, anak didandani dan dibaringkan di tempat tidur yang dilengkapi uba rampe atau rangkaian sesaji berupa antara lain kloso bongko (tikar kecil dari anyaman pandan), pisang raja dan kembang setaman. Setelah anak ditidurkan dalam ruang tertutup, Mbah Dukun membaca doa-doa untuk kemuliaan anak gadis tersebut. Selesai membaca doa, lalu memotong kunyit pertanda untuk menghilangkan sukerta (sial) yang ada pada anak itu. Dengan dipotongnya kunyit, berarti upacara menghilangkan sukerta anak gadis telah selesai. Sebagai upahnya Mbah Dukun memberi telur rebus dan uang yang ditempatkan pada sebuah takir (dari daun pisang). Anak gadis kemudian disuruh makan telor rebus serta diberi ganti baju yang bagus. Upacara berikutnya adalah bancakan nasi gudangan dan jajan pasar. Dibagikan kepada teman-teman sebayanya. Pada sore hari diadakan kenduri untuk para orang tua, guna mendoakan keselamatan dan kebaikan bagi si gadis. Tradisi tetesan di pedesaan biasanya disertai hajatan dengan mengundang sanak saudara dan tetangga sekitarnya. Seperti hajadan khitan anak lelaki, para tamu juga memberikan sumbangan berupa uang, beras, kelapa atau bahan lainnya. Ny Legiyem mengaku sudah sekitar 20 tahun menjadi Mbah Dukun tetesan. Gadis yang dihilangkan sukerta-nya tak tebilang lagi jumlahnya. Sering diundang melakukan upacara tetesan hampir di seluruh pelosok Klaten, misal ke Puluhwatu dan Kemalang. Bahkan sampai di Wonogiri.(ety/dbs)
|