JAKARTA - Penembakan terduga teroris Suardi di Bone terus dipertanyakan. Suardi belum pernah diumumkan sebagai DPO (daftar pencarian orang) dan mempunyai rekam jejak yang baik di masyarakat. "Polisi tidak memberikan penjelasan yang tuntas tentang apa yang dilakukan almarhum hingga harus ditembak mati tanpa peradilan," ujar aktivis PP Muhammadiyah Mustofa Nahrawardaya di Jakarta kemarin (20/10). Dari data yang dikumpulkan Mustofa, Suardi merupakan kader Muhammadiyah. Dia merupakan alumnus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah Watampone. Suardi merampungkan studinya pada tahun 2003 dan mulai menjadi tenaga guru honorer di Sekolah Dasar (SD) Inpress 6/80 Ulawengriaja, Kecamatan Amali, Kabupaten Bone. Bahkan, Suardi diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) sejak tahun 2007. Suardi yang diketahui mengajar kelas murid kelas VI ini akhirnya memilih mengundurkan diri dari pekerjaannya. Menurut Mustofa, sejak berhenti menjadi guru, Suardi kemudian bekerja sebagai petani, mengelola kebun warisan orang tuanya. Sementara istrinya bekerja sebagai penjahit pakaian. "Dia disebut Pak Guru karena juga aktif mengajar anak-anak baca tulis Al Quran di kediamannya pada sore hari," kata peneliti Indonesia Crime Analyst Forum itu. Dalam kesehariannya, Pak Guru dikenal orang baik dalam bertingkah laku dan sangat jujur saat mengobrol. "Silahkan Anda cek langsung ke tetangga-tetangga di sekitar rumahnya. Dia sangat ramah dan terbuka pada warga," katanya. Suardi juga tidak pernah keluar kampong dalam waktu lama. "Dia juga tidak memiliki senjata api. Bagaimana mungkin disebut baku tembak, " katanya. Karena itu, Mustofa menduga ada salah prosedur dalam penembakan hingga tewasnya Suardi. "Kami akan berkomunikasi dengan Komnas HAM. Selama ini, Muhammdiyah juga aktif mengkritik Densus 88 karena sering menyimpang," katanya. Seperti diketahui, Suardi alias Pak Guru tewas ditembak oleh tim Densus 88 pada Kamis, 17 Oktober sekira pukul 15.00 wita. Saat itu Suardi diketahui baru saja pulang dari berkebun bersama anaknya AI ,17 serta seorang rekannya J alias U . Suardi ditembak dan tewas, sedangkan dua yang lain ditangkap oleh Densus 88 menggunakan minibus Avanza bernomor polisi DW 567. Terpisah, anggota Komnas HAM Siane Indriani menjelaskan pihaknya akan menginvestigasi kasus itu. "Tidak boleh ada judicial killing lagi oleh Densus 88," kata Siane. Dia juga sudah mendengar penuturan istri Suardi dari media. "Kalau keterangan keluarga, yang ditembak itu sangat perhatian dan bertanggungjawab pada keluarga. Ini harus diusut," kata Siane. Pihaknya juga mengagendakan pertemuan dengan Komjen Sutarman setelah dilantik menjadi Kapolri. "Kami akan mendesak perubahan pola operasi Densus 88 yang lebih manusiawi dan menjunjung nilai ham," katanya.(rdl/jpnn)
|