Kasus Kredit Fiktif Bank Syariah Mandiri
JAKARTA - Notaris bernama Sri Dewi menambah daftar tersangka kasus kredit fiktif Bank Syariah Mandiri (BSM) Bogor, Jawa Barat. Notaris BSM Bogor itu resmi ditahan kemarin dini hari (7/11). Sri dibayar mahal untuk ikut memuluskan penyaluran dana fiktif senilai Rp 102 miliar. Dengan demikian, saat ini total tersangka kasus tersebut menjadi tujuh orang. Tersangka kasus pembobolan bank senilai Rp 102 miliar itu terdiri atas tiga karyawan BSM Bogor, tiga debitur, dan satu notaris. Tersangka dari BSM adalah M Agustinus Masrie (kepala cabang BSM Bogor), Haerulli Hermawan (kepala BSM cabang pembantu Jalan Baru Bogor), dan John Lopulisa (account officer BSM cabang pembantu Jalan Baru Bogor). Debitur yang mengajukan 197 nama fiktif adalah Iyan Permana, Henhen, dan Rizky. Sri bertugas membuatkan akta untuk akad murabahah untuk bisnis perumahan. Namun, pembuatan akta tersebut tidak dihadiri pihak debitur dan sertifikat tanah yang menjadi agunan hanya berupa fotokopi. Belakangan, hasil penyidikan menunjukkan jika sertifikat fotokopian tersebut fiktif. Direktur Tindak Pidana ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Arief Sulistyanto mengatakan, Sri menerima aliran dana dari kredit fiktif tersebut. "Ada transfer dana Rp 2,6 miliar dan uang tunai yang jumlahnya belum diketahui karena tersangka mengaku lupa," terangnya kemarin. Selain itu, Iyan juga memberi sebuah mobil Mercedes-Benz C 200 kepada Sri. Mobil tersebut bakal segera disita menyusul penahanan terhadap dia. Selain itu, rekeningnya juga sudah diajukan penyidik ke bank untuk diblokir. Sri dijerat pasal 64 UU nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dia selaku pihak terafiliasi dengan sengaja tidak mengambil langkah untuk memastikan bank syariah tidak melanggar aturan. Ancamannya delapan tahun penjara dan denda maksimal Rp 100 miliar. Sang notaries juga dijerat UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pasal 3 dan atau pasal 5. "Kalau misalnya tidak bisa dijerat dengan pasal 3, menggunakan pasal 5 pasti bisa," kata Arief. Pasal 5 mengatur sanksi bagi penerima dana hasil kejahatan. Sementara itu, Kasubdit Perbankan AKBP Umar Sahid menjelaskan, pengajuan 197 nama debitur itu bukan tanpa alasan. Limit penyaluran dana di tingkat cabang utama BSM adalah Rp 1 miliar. Jika lebih dari itu, maka pencairannya harus sepengetahuan BSM Pusat. Untuk itu, Iyan, Henhen, dan Rizky mengajukan nama-nama fiktif untuk menjadi debitur. "Ini ada proyek senilai Rp 5 miliar, diajukan bersama oleh 14 debitur," terangnya. Sehingga, saat mengajukan nilainya tidak lebih dari 500 juta. Seandainya lebih dari Rp 1 miliar, pasti pengajuannya akan lebih rumit karena melibatkan BSM pusat. Modus itu pernah dilakukan oleh tersangka kredit fiktif Bank Jatim dan Bank Jabar Banten Yudi Setiawan. Yudi membuat 27 pengajuan kredit ke Bank Jatim dengan nilai total Rp 50,4 miliar. Tujuannya, persetujuan pencairan kredit cukup di tangan Pimpinan Cabang Bank Jatim HR Muhammad Surabaya yang menjadi sasarannya. Limit kredit di tangan pimpinan cabang Bank Jatim adalah Rp 2 miliar. Selebihnya, harus mendapat persetujuan Bank Jatim pusat. Terkait dengan TPPU, Arief Sulistyanto mengingatkan agar masyarakat lebih kritis dan hati-hati. "Jangan mau diberi transfer atau dititipi uang dalam jumlah besar kalau tidak jelas asalnya," ucapnya. Jika terbukti uang tersebut hasil kejahatan, pihak yang dititipi bisa ikut dipidana. Hukumannya lima tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Di masa yang akan datang, penggunaan UU TPPU akan lebih masif. Pada prinsipnya, semua tindak pidana yang berhubungan dengan uang bisa dikenai TPPU. Orang yang mengalihkan maupun yang menerima uang hasil kejahatan sudah jelas hukumannya, di samping hukuman untuk pidana pokoknya. (byu/ca/jpnn)
|