AKARTA – Mencuatnya pemberitaan penyadapan yang diduga dilakukan oleh Defence Signal Directorate atau Dinas Intelijen Elektronik Australia terhadap pemimpin Negara Indonesia yang dilakukan sejak 2009 silam membuat sejumlah lembaga penegak hukum terkait, terutama Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung, memasang kuda-kuda jika seandainya kepala Negara memerintahkan untuk menghentikan segala kerjasama yang selama ini telah dibina secara harmonis.
Polri yang merupakan lembaga hukum Indonesia memiliki kerjasama strategis dengan kepolisian Australia (AFP) dalam menjalankan fungsinya untuk menjaga keamanan dalam negeri. Kerjasama yang dibangun adalah police to police yang terangkum dalam bantuan fisik dan non fisik. Diantara kerjasama yang itu seperti penanganan Human Traficking, People Smugling, Transnasional Crime, pelatihan Cyber Crime. Selain itu, Polri juga mendapat bantuan dana dan teknis terkait operasional Pusat Koordinasi Kejahatan Transnasional dan (TNCC) dan Pusat Data Bom Polri di Jakarta.
Meski Australia bukan satu-satunya Negara yang memberikan bantuan tersebut, namun kerjasama dua Negara ini dinilai cukup strategis mengingat sejarah hubungan Indonesia dengan negeri kangguru terjalin sejak 1947. Kedua Negara rutin melakukan dialog dalam forum-forum resmi serta latihan-latihan militer lainnya yang membuat posisi kerjasama kedua Negara cukup penting. Sejak kasus teroris Noordin M Top, Polri mendapat bantuan dari Australia berupa alat pelacak untuk digunakan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror sehingga peralatan tersebut membuat ketergantungan Polri terhadap kepolisian Australia cukup rawan.
“Mengantisipasi penyadapan pasti sudah ada upaya, namun demikian saya harus tanya kepada Kepala Densus 88 dan Bareskrim Polri apakah ada kemungkinan segala macam data yang ada di densus 88 tersadap, terekam, dan bisa disalahgunakan untuk kepentingan negara lain, termasuk oleh Australia,” papar Kadiv Humas Polri, Irjen Ronny F Sompie di Jakarta, kemarin.
Kapolri Jenderal Sutarman sempat menyatakan bahwa pihaknya siap menghentikan segala bentuk kerjasama yang sudah dijalin dengan kepolisian Australia jika Presiden menginstruksikannya.
Berbeda dengan Kejaksaan Agung. Kerjasama antar lembaga peradilan ini difokuskan pada persoalan pemberian fasilitas untuk pendidikan atau tukar-menukar informasi dalam penegakan hukum di lingkungan Kejaksaan. Kerjasama itu disebut tidak akan mengganggu aktifitas peradilan. “Tidak ada bersifat kelembagaan yang memang menjadi suatu hal yang menganggu. Itu tidak ada,” kata Jaksa Agung Basrief Arief.
Basrief mengungkapkan, pihaknya belum menandatangani kesepakatan atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan Australia dalam upaya penegakan hukum tersebut sehingga Kejaksaan Agung berada dalam posisi tidak tergantung dengan bantuan Australia meskipun bentuk kerjasama itu untuk persoalan ekstradisi. “Kalau itu sementara yang kita usut, itu sudah kembali,” imbuhnya. (sam/WMC)