JAKARTA – Bekas Menteri Keuangan yang juga Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo, menyatakan bahwa dari hasil audit investigasi internal Kemenkeu, setidaknya ditemukan delapan pelanggaran dari pengajuan kontrak tahun jamak (multi years) yang diajukan pihak Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), dalam proyek pembangunan sarana dan prasarana Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga (P3 SON) di Bukit Hambalang, Jawa Barat. Hal itu diungkapkan Agus saat memberikan kesaksian dalam kasus korupsi Hambalang untuk terdakwa Deddy Kusdinar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, kemarin (10/12). "Ketika kami meminta audit internal ada delapan area yang tidak dipenuhi dan terjadi penyimpangan," kata dia saat bersaksi. Delapan penyimpangan itu, diantaranya surat permohonan persetujuan kontrak tahun jamak tidak dibubuhi tandatangan Menpora, melainkan ditandatangani oleh sekretarisnya (Sesmenpora), Wafid Muharam. Permohonan persetujuan kontrak tahun jamak juga tidak didukung oleh Rencana Kerja Anggaran Kementerian Lembaga (RKAKL) yang tidak dilampirkan. Sedangkan yang diminta ialah acuan RKAKL untuk menyetujui kontrak tahun jamak dalam proyek Hambalang. “Sedangkan waktu itu tahun tunggal,” cerita Agus. Selanjutnya, perihal rekomendasi teknis pembangunan gedung tidak dibubuhi tandatangan Menteri Pekerjaan Umum. Namun, hal itu tidak ada sehingga hal itu menyalahi aturan kontrak tahun jamak. Kendati demikian, bekas Dirut Bank Mandiri mengaku, pihaknya terlambat melakukan audit investigative, dan baru melakukan hal itu setelah proyek Hambalang disebut-sebut bermasalah dalam perkara Wisma Atlet. Sayangnya, dia mengetahui ada kejanggalan setelah kontrak tahun jamak proyek sudah diketuk palu. Dalam kesempatan itu, Agus menjelaskan bahwa audit internal yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal (Itjen) dilakukan selama delapan bulan dan selesai pada Januari 2013, setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan hasil audit investigatif tahap pertama. Lebih lanjut ia memaparkan, nota dinas yang didapatkan dari Kemenpora didisposisikan oleh Dirjen Aggaran Kemenkeu yang saa itu dijabat oleh Anny Ratnawati (sekarang menjabat sebagai Wamenkeu). “Isi nota itu sebetulnya tidak tahu. Tetapi didalamnya memang ada rekomendasi dari Dirjen Anggaran terkait dengan kontrak tahun jamak dan terkait dengan proses anggarannya,” kisahnya. Dalam nota yang didisposisikan pada Dirjen Anggaran, Agus meyakini terdapat aturan yang jelas mengenai persetujuan pemberian kontrak tahun jamak dalam proyek apapun yang diajukan pada kementeriannya. “ Kami memilih bukan menyetujui tapi kami memilih menyelesaikan,” aku dia. Pria kelahiran Amsterdam, Belanda itu beralasan, statement 'menyelesaikan' dimaknai berbeda oleh Anny Ratnawati untuk mengeluarkan persetujuan kontrak tahun jamak proyek Hambalang. Agus mengklaim, kemenkeu telah melakukan langkah tegas bagi sejumlah pihak yang diduga melakukan penyimpangan. Dalam kesaksian sebelumnya, Anny yang juga dihadirkan sebagai saksi untuk tersangka Deddy Kusdinar membenarkan telah menerima surat tahun jamak dari Kemenpora terkait proyek Hambalang yang selanjutnya ditindaklanjuti dalam bentuk nota dinas. Surat permohonan itu ditandatangani oleh Sesmenpora, Wafid Muharam. Berdasarkan nota dinas itu, Anny menaikan pada Menkeu yang saat itu dijabat oleh Agus Marto. Kemudian disposisi itu diturunkan kembali. Menkeu pun meminta untuk menyelesaikan permintaam tahun jamak proyek Hambalang. Diketahui, dalam hasil audit BPK tahap pertama yang dibacakan di Gedung MPR/DPR RI oleh Ketua BPK, Hadi Purnomo menyimpulkan ada 11 indikasi penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan dan penyalahgunaan wewenang dalam proyek Hambalang. Dimana, nama Menkeu waktu itu, Agus Martowardojo ikut terlibat. Berawal dari pendapat teknis, yaitu Direktur Penataan Bangunan dan Lingkungan Kementerian PU memberikan pendapat teknis yang dimaksudkan dalam PMK 56/PMK.02/2010 tanpa memperoleh pendelegasian dari Menteri Pekerjaan Umum (PU). Sehingga, diduga melanggar Per Menteri PU Nomor 45 Tahun 2007. Kemudian, Revisi RKA-KL Tahun Anggaran 2010, dimana Menkeu dan Dirjen Anggaran setelah melalui proses berjenjang menyetujui untuk memberikan dispensasi perpanjangan batas waktu revisi RKA-KL 2010 dan didasarkan pada informasi yang tidak benar. Dilanjutkan dengan permohonan kontrak tahun jamak yang ditandatangani oleh Sesmenpora tanpa memperoleh pendelegasian dari Menpora sehingga diduga melanggar PMK 56/PMK.02/2010. Sedangkan, Menpora diduga membiarkan Sesmenpora melaksanakan wewenang Menpora dan tidak melaksanakan pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam PP 60 Tahun 2008. Masih terkait izin kontrak tahun jamak, Menkeu dianggap menyetujui izin kontrak tahun jamak dan Dirjen Anggaran menyelesaikan proses persetujuan kontrak tahun jamak, meskipun diduga melanggar PMK 56./PMK.02/2010. Atas dugaan penyimpangan tersebut, BPK melansir terjadi kerugian negara sebesar Rp 243,66 miliar. Dengan perincian, Rp 116,930 miliar yang merupakan selisih pembayaran uang muka yang telah dilaksanakan (Rp 189,450 miliar) dikurangi dengan pengembalian uang muka pada saat pembayaran termin pada 2010 dan 2011 (Rp 72,520 miliar). Sedangkan, Rp 126,734 miliar yang merupakan pemahalan harga pada pelaksanaan konstruksi yang terdiri dari pemahalan mekanikal elektrikal sebesar Rp 75,724 miliar dan pekerjaan struktur sebesar Rp 51,010 miliar. Setelah itu, BPK menyebutkan bahwa terjadi kerugian negara sebesar Rp 463,6 miliar dari proyek Hambalang berdasarkan audit investigatif tahap kedua. (Indra/WMC)
|