PALEMBANG - Kebijakan populis tentang sekolah gratis yang selalu dikampanyekan pemerintah baik pusat maupun daerah, khususnya di Sumsel, ternyata menjadi pertanyaan dan keluhan dari masyarakat. Salah satunya orang tua siswa SMAN 1 Palembang, Hasanuddin, mengeluhkan besaran biaya yang dilakukan pihak sekolah selama dua kali tahun ajaran.
Dalam satu tahun, jutaan rupiah yang dikeluarkan untuk biaya yang mesti dikeluarkan untuk sekolah dengan melakukan penyetoran melalui rekening Bank SumselBabel. “Kalau untuk seragam itu Rp 1.750.000, uang komite dan cattering wajib perbulan Rp 500.000, belum lagi buku yang wajib beli dari sekolah sampai jutaan rupiah pak,” ungkapnya kepada Palembang Pos. Selain dari, mahalnya biaya tersebut tidak sebanding dengan kualitas barang yang diberikan sekolah. Seperti seragam dan sepatu sekolah yang wajib disetor ke sekolah sangat buruk bahkan penerimaan yang lamban. “Waktu pertama kali masuk anak saya langsung disuruh ngukur baju di Budroyono Tailor yang ada di daerah Megahria Dika Pasar 16 Ilir, artinya pemesanan itu di Palembang inilah seharusnya lebih cepat. Saya lihat juga kalu ditaksir seluruh barang itu paling Rp 750.000, Rp 1 jutanya itu kemana,” bebernya. Ditambahkan Hasanuddin, biaya dan setoran wajib tersebut, sangat tidak sejalan dengan program yang dilakukan pemerintah, baik dalam bentuk kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Sekolah Gratis, atau program pendidikan lainnya yang populis, sangat berbeda dengan faktanya. “Kami ini sebagai masyarakat kecil bingung pak, kalau gak dibayar katanya gak sayang dan peduli terhadap masa depan anak walaupun saya hanya wiraswasta. Tapi di sisi lain kami mempertanyakan, yang bagaimana dikatakan Sekolah Gratis itu, atau dana BOS yang katanya ratusan juta, kalau kami dihantui biaya sekolah yang tinggi,” pungkanya. Menurut Kepala SMA Negeri 1 Palembang, Drs Agus Budiyanto MM, mengenai dana sumbangan Rp 500 ribu yang diperuntukkan bagi SPP dan makan siang siswa tersebut merupakan hasil rapat yang dilakukan pihak komite sekolah dengan orang tua siswa. Pada waktu penentuan besaran dananya, kepala sekolah tidak ikut campur. Kepala sekolah hanya memaparkan program yang akan dikerjakan, dan itu semua berdasarkan peraturan Walikota Palembang yang mengizinkan, karena SMAN 1 Palembang merupakan salah satu sekolah unggulan di Kota Palembang. “Kalau peraturan masih ada kemungkinan masih berlangsung, akan tetapi kalau suratnya sudah tidak ada ya tidak bakalan berlangsung kita juga harus taat dengan aturan hukum. Kegiatan ini kan baru berjalan dua tahun, bahkan kalau untuk sekolah-sekolah unggulan lainnya sudah lebih dulu menarik sumbangan malah besarannya melebihi dari SMAN 1. Kenapa para orang tua di sekolah-sekolah tersebut tidak komplain, karena apa yang dibutuhkan anak-anak mereka memang terpenuhi,” papar Agus kepada wartawan koran ini ditemui diruang kerjanya, Jumat (20/12) lalu. Menurut dia, selama sekolah transparan dalam pengelolaan mudah-mudahan masih bisa dipercaya bahwa sekolah tersebut mampu mewujudkan keinginan anaknya. Keinginan orang tua itu, kata dia, hanya ingin anak mereka lulus 100 persen dengan baik dan diterima di perguruan tinggi yang diharapkan. Kemudian anaknya bertingkah laku baik sesuai dengan norma agama, masyarakat dan hukum. “Selama ketiga hal tersebut yakni pengetahuan, sikap dan keterampilan terpenuhi menurut hemat saya orang tua tidak akan terbebani. Kalau memang sekolah tidak bisa menjawab tentang pengelolaan dana yang disumbangkan orang tua, wajar kalau orang tua mempertanyakan pendanaan itu. Sesuai dengan Undang-undang bahwa orang tua dibenarkan berpartisipasi untuk sekolah. Untuk diketahui, di sekolah unggulan tidak ada alasan tidak menerima anak tidak mampu, akan tetapi harus mampu dalam hal intelektual,” terangnya. Disinggung mengenai komplain orang tua siswa terkait pembelian seragam sekolah, menurut dia, tak hanya SMAN 1 yang melakukannya, melainkan seluruh sekolah di Kota Palembang. Dia mencontohkan, sekolah-sekolah lain malah seragamnya hebat-hebat, bahkan ada sekolah yang memiliki berbagai seragam sekolah tidak ada masalah. “Menurut saya selama tidak ada kepentingan pribadi yang ditonjolkan di dalamnya, maka tidak akan ada komplain. Kemudian, pengadaan seragam sekolah kan melalui pihak ketiga yang sifatnya menawarkan. Bagi siapa yang mau silahkan memesan, namun bagi yang tidak mau memesan ya sudah pihak sekolah tidak memaksakan. Akan tetapi, apa iya dalam sekolah itu ada siswa yang tidak seragam. Kalau tidak seragam justru orang tidak punya itulah yang akan malu nantinya, dengan seragam tidak membedakan mana yang kaya dan mana yang miskin,” katanya lagi. Yang harus digaris bawahi, tegas dia, tidak ada anak yang tidak mampu tidak bisa sekolah di SMA unggulan selama bisa berkomunikasi dengan komite sekolah. Sebab, sekolah menyediakan beasiswa dari nol persen hingga suka-suka bayar bagi yang tidak mampu. Kalau memang sudah tidak mampu sama sekali, maka akan digratiskan. “Jadi tidak usah mengeluh kemana-mana. Makanya, bagi orang tidak mampu mohon maaf jangan banyak komplain dan mengganggu sumbangan orang mampu terhadap sekolah. Harusnya orang yang tidak mampu itu menumpang tenar, orang kaya biar memberikan sumbangan dan yang tidak mampu dibebaskan. Jadi artinya, orang tidak mampu bisa bebas mengikuti sekolah dengan fasilitas hebat dan tidak membayar. Jangan orang yang mampu dipengaruhi dan akhirnya tidak mau memberikan bantuan kepada sekolah, sehingga sekolah tidak mempunyai biaya,” pungkasnya.(cr10/ety)
|