SUMSEL - Curah hujan yang tinggi sejak beberapa bulan terakhir, membuat sejumlah wilayah mengalami musibah banjir. Untuk di Sumsel sendiri akibat hujan disertai cuaca yang tak menentu membuat puluhan ribu rumah warga tergenang air. Walaupun hingga saat ini belum ada korban meninggal dunia akibat musibah banjir, namun kerugian secara materil
mencapai miliaran rupiah. Tak hanya itu, kerugian pangan juga mengancam lantaran ribuan hektar persawahan dan perkebunan yang menghasilkan pangan seperti padi mengalami puso (gagal panen). Untuk tahun ini, banjir yang melanda Sumsel cukup besar. Pemerintah sendiri sudah melakukan upaya penanggulangan walaupun di satu sisi masih kerab ‘membiarkan’ hilangnya serapan air akibat ‘obral’ izin menimbun atau membuka lahan. Sedangkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungannya sendiri masih kurang seperti membuang sampah sembarangan. Dengan kondisi seperti jika terjadi musibah banjir siapa yang harus bertanggungjawab. Dari pendataan Taruna Siaga Bencana (Tagana) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel, selama 3 minggu terakhir, banjir menggenangi 7 (tujuh) kabupaten/kota yakni Kabupaten Ogan Ilir (OI), OKU Timur, Muara Enim, Kota Prabumulih, Banyuasin, Muratara dan OKI. “Dari daerah tersebut, yang ketinggian airnya masih parah yakni di OKI yang mencapai 1,5 meter,” beber Ketua Tagana Sumsel, Sumarwan. Khusus Kota Palembang, sambung Sumarwan, harus lebih hati-hati lagi , karena sungai Musi merupakan tempat bertemunya dari 9 aliran sungai dari seluruh kabupaten/kota di Sumsel. “Jadi walaupun Palembang tidak hujan, sungai Musi akan meluap.Jika air di Selat Bangka tinggi. Maka air yang merupakan tempat bertemunya 9 anak sungai tidak bisa keluar selat Bangka, sehingga Palembang akan mengalami banjir,” ucapnya. Sedangkan untuk rumah warga yang tergenang banjir, Tagana Sumsel kembali mencatat data terbaru, ada 7855 unit rumah terendam. “Namun catatan ini di Kabupaten OKI namun jika jumlah ini ditambah dengan daerah lain yang diserang banjir, perkiraannya bias mencapai puluan ribu unit rumah,” ujarnya. Sedangkan Dinas Pertanian dan Tanaman Holtikultura (PTH) Sumsel mencatat luas persawahan yang mengalami gagal panen akibat banjir mencapai 3.778. Kepala Dinas PTH Sumsel, Taufik Gunawan mengatakan, lahan persawahan yang banjir, OKU Timur seluas 8.021,45 hektare dan 2.175,52 hektare mengalami puso ; OKI 18.416 hektare tergenang dan 1.594 hektare puso. Selanjutnya, di Mura 725,75 hektare tergenang tapi belum ada yang puso. Kemudian Lubuklinggau 16 hektare tergenang seluas 9 hektare puso. “Jadi total sawah yang mengalami puso seluas 3.778 hektare, dari total lahan sawah di Sumsel mencapai 814 ribu hektare, jadi yang mengalami puso sekitar 0,3 persen,” ungkapnya. Sedangkan Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel , Hadi Jatmiko mengatakan, bencana banjir ini merupakan bencana ekologis lingkungan yang terjadi karena kerusakan lingkungan di Sumsel. Salah satu kerusakan yang parah adalah kerusakan hutan. Dimana, dari 3,7 juta hektare luas hutan di Sumsel, saat ini hanya tinggal 800 hektare yang kondisinya baik. “Rusaknya hutan otomatis berpengaruh pada hilangnya daerah resapan air. Dengan hilangnya jutaan hektare hutan tersebut, air yang selama diserap, akhirnya mengalir dan menyebabkan banjir. Khususnya di wilayah di Muba dan Mura yang wilayah-wilayah hutannya rusak,” jelas dia. Walhi sendiri, lanjut Hadi, terus mengingatkan kepada pemerintah untuk menghentikan kebijakan yang tidak berpihak kepada lingkungan. Diantaranya, dengan obral izin kepada perusahaan tambang, perkebunan serta hutan tanaman industri. “Obral izin ini, salah satu penyebab kerusakan hutan. Saat ini saja, pengusaha hutan tanaman industri sudah menguasai 1,7 juta hektare lahan hutan. Bahkan ada yang hutan alam diubah menjadi hutan monokoltur yakni hutan akasia. Jika dibiarkan akan makin merusak lingkungan,” paparnya. Walhi juga meminta, agar pemerintah mereview kembali izin-izin yang sudah diterbitkan. “Kalau memang ada yang melanggar dan merusak lingkungan, harusnya izinnya dicabut. Reboisasi juga harus terus dilakukan. Jangan hanya sekadar jargon, 1 miliar pohon tapi tidak tahu dimana lokasinya,” tegas dia.(ati/ika/rob)
|