JAKARTA - Ketua Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat, Amir Effendi Siregar menilai Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) sangat berbahaya dan anti demokrasi serta bersifat otoriter. Hal itu dikatakannya usai menjadi saksi ahli di sidang lanjutan Pengujian Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) di Mahkamah Konstitusi yang diajukan dimohonkan Koalisi Kebebasan Berserikat dan PP Muhammadiyah, Selasa (11/2). Menurutnya, UU tersebut tidak hanya menghambat tumbuh dan berkembangnya organisasi masyarakat sipil tetapi juga dapat merugikan dan berbahaya untuk organisasi media, pers, wartawan dan jurnalis. "Khusus dari perspektif media, anda tidak boleh mengumpulkan, menyebarkan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan pancasila yang dijelaskan itu ateisme, komunisme, marxisme jadi ini batasan sangat berbahaya," katanya. Padahal, lanjut Amir tugas wartawan dan media adalah menyediakan informasi yang lengkap dari berbagai macam sudut pandang, termasuk ideologi dan ajaran yang bertentangan dengan Pancasila. "Agar pembaca dapat memperoleh gambaran dan informasi yang komprehensif dan bermanfaat buat meningkatkan kesejahteraan hidupnya," ujarnya. Dosen Komunikasi UII ini juga menyarankan bila pemerintah ingin mengontrol Ormas dan organisasi lainnya, sebaiknya dibuat Undang-Undang yang lain karena perlawanan masyarakat sipil terhadap UU tersebut sangat besar. "Perlawanan masyarakat sipil ini bergelombang besar sekali termasuk NU dan Muhammadiyah. Ini organisasi besar oleh karena itu diakali seolah-olah mau diakomodir tapi sebenarnya memberikan pembatasan-pembatasana pada seluruh organisasi masyarakat sipil, tidak boleh begitu," ucapnya. Sementara saksi ahli dari Dekan Falkustas Hukum Unika Atma Jaya, Surya Tjandra menilai harusnya MK membatalkan UU No. 17/2013 tentang Ormas tersebut, karena jika pemerintah ingin mengontrol ormas-ormas yang dianggap sering berbuat anarkis dan tindak kekerasan harusnya pemerintah tegas dalam hal penegakan hukum. "Tindakan kekerasan tindak pidana pakai sanksi pidana saja tidak usah dibikin aturan khusus mengatur tenteng ormas, bukan disitu solusinya. Solusinya ditempat lain soal penegakan hukum," katanya. Surya menambahkan motif utama UU tersebut memang dilahirkan untuk membatasi kebebasan berorganisasi, berserikat dan bersifat diskriminatif. Bila ditemukan pelanggaran dan dinilai merugikan ketertiban umum akan diberi sanksi. "Besar banget peluang penyalahgunaan, siapa saja yang dianggap mengganggu ketertiban dan kemanan negara dianggap bisa dibilang sebagai Ormas tidak dapet SKT (Surat Keterangan Terdaftar) dan tinggal dibubarkan atau tidak bisa bekerja, kalau bekerja bisa ada sanksi pidana," ungkapnya. Selain itu UU Ormas juga mengancam kebebasan berserikat bagi buruh dan bertentangan dengan Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi, serta bertentang dengan Konvensi ILO No. 98 tentang Hak Berorganisasi dan melakukan Perundingan Bersama. "Khususnya dengan memberi ruang yang amat luas kepada pemerintah untuk mengintervensi mulai dari proses pendirian hingga beroperasinya organisasi kemasyarakatan dan serikat pekerja atau buruh," pungkasnya. (Julian/WMC)
|