PALEMBANG - Permintaan cuti kepala daerah di Sumatera Selatan diprediksi bakalan meningkat menjelang masa kampanye Pemilihan Presiden mendatang. Betapa tidak, kebanyakan kepala daerah di Sumsel merupakan ketua partai politik pendukung serta ketua tim pemenangan pasangan calon presiden dan wakil presiden. “Selain sebagai kepala daerah, jabatan seperti gubernur, walikota/bupati juga menjabat sebagai tim pemenangan salah satu pasangan calon presiden. Apalagi, mereka juga menjabat sebagai ketua partai politik baik itu skala provinsi maupun kabupaten/kota,” terang Sekretaris Daerah Sumsel, H Mukti Sulaiman, kepada wartawan koran ini di Graha Bina Praja Setda Sumsel, Senin (2/6). Sebagaimana diketahui, saat ini sudah banyak kepala daerah di Sumsel yang ditetapkan sebagai tim pemenangan pasangan Capres-Cawapres 2014. Namun, hingga saat ini belum ada satupun kepala daerah yang mengajukan surat cuti kepada Sekda Sumsel. Menurut Mukti, sudah ada mekanisme tersendiri untuk pengajuan cuti kepala daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai proses permintaan cuti kepala daerah saat memasuki Pemilu. “Kemungkinan mereka juga sedang memprosesnya, apalagi sekarang ini belum memasuki waktu untuk cuti itu. Pada prinsipnya kepala daerah bisa menjadi juru kampanye pada Pilpres nanti, namun harus tetap mentaati aturan dan mengikuti mekanisme yang ada sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Seperti halnya pejabat yang akan ikut kampanye harus izin di luar tanggungan negara dan tak boleh menggunakan fasilitas Negara,” jelas Mukti. Dijelaskan dalam UU Pilpres Nomor 42 Tahun 2008, pada Pasal 42 telah diatur soal mekanisme cuti tersebut. Disebutkan, kampanye yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, dan menjalani cuti kampanye. UU juga sudah menegaskan, tak sembarangan para pejabat tersebut mengajukan cuti. Cuti yang dimaksud dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam UU Pilpres juga sudah memberi peringatan kepada struktur birokrasi untuk tidak menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon pada sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Secara eksplisit, pada Pasal 41 ayat (5) mengatur PNS yang menjadi juru kampanye, sebagai peserta Kampanye, pegawai negeri sipil dilarang mengerahkan pegawai negeri sipil di lingkungan kerjanya dan dilarang menggunakan fasilitas negara. Pelanggaran Pasal 41 ayat (5) tersebut bisa dikenai pidana pemilu berupa penjara paling singkat tiga bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp 3 juta dan paling banyak Rp 12 juta. Pejabat negara yang membuat keputusan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon dalam masa kampanye, dipidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 36 bulan dan denda paling sedikit Rp 6 juta dan paling banyak Rp 36 juta. Sedangkan Birokrat paling bawah, yaitu kepala desa atau sebutan lain yang melakukan hal serupa, dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama 12 bulan dan denda paling sedikit Rp 6 juta dan paling banyak Rp 12 juta. “Jadi aturannya sudah jelas, PNS harus netral dan jangan mudah mengikuti perintah yang menyuruh para pegawai berpartisipasi dalam pemilu. Kedepankan netralitas pegawai dan jangan sampai keluar dari koridor yang telah ditetapkan. Terkait cuti ini kita masih menunggu jadwalnya, tapi secara teknis memang antara kepala daerah dan wakil kepala daerah itu tidak boleh bersamaan, maksudnya agar masih tetap ada yang bekerja,” tutupnya.(ety)
|