JAKARTA - Sidang lanjutan sengketa hasil Pilpres 2014 di Mahkamah Konstitusi (MK), kemarin (15/8) diwarnai perang argumen dari para saksi ahli yang dihadirkan ketiga pihak, yakni pihak pemohon dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, pihak termohon dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan pihak terkait dari pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Salah satu saksi ahli yang dihadirkan pemohon, Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa MK sebagai Mahkamah Kalkulator. Yusril yang juga pakar hukum tata negara dalam kesaksiannya menilai ketika pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyusun Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2003 tentang MK, para pembuat UU itu menyederhanakan sengketa pemilu menjadi semata-mata perselisihan hasil perolehan suara. "Kalau cuma ini yang jadi wewenang MK, maka MK cuma akan jadi lembaga kalkulator. Walau dalam perkembangannya MK telah menciptakan yurisprudensi," ujar Yusril di dalam Ruang Sidang lantai 2 yang dibuka pada pukul 09.00 WIB tersebut. Mantan menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) pada masa jabatan 2004 - 2007 tersebut menuturkan sudah saatnya MK melangkah ke hal yang lebih substansial dan fundamental dalam memutus perkara sengketa pemilu, seperti pelaksanaan asas pemilu langsung, umum, adil, bebas, dan rahasia. Dia berharap MK tidak hanya sekadar melihat perbedaan angka-angka perolehan suara semata karena nanti MK akan sekadar menjadi mahkamah kalkulator. Yusril meyakini pihak Prabowo-Hatta tidak tidak akan cukup waktu untuk menyiapkan bukti pelanggaran pemilu yang terstruktur, masif, dan sistematis dengan batas waktu maksimal tiga hari sejak KPU mengumumkan pemenang pemilu presiden. "Mungkin saja gugatan Prabowo-Hatta betul, tapi tidak cukup waktu (untuk membuktikannya)," terangnya. Sementara itu, pihak KPU menghadirkan mantan hakim konstitusi Harjono sebagai saksi ahli dalam sidang sengketa hasil pemilihan presiden 2014. Dia memberikan penjelasan terkait dengan dugaan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang disampaikan pemohon. "Apa yang disebut terstruktur, sistematis, dan masif ada nuansa yang beda. Tidak semua perbuatan TSM otomatis itu pelanggaran pemilu," ujar Harjono dalam persidangan. Harjono menjelaskan bahwa kampanye juga sejatinya merupakan program TSM. Namun, belum tentu kampanye itu merupakan kecurangan TSM. Menurutnya, semua program TSM bergantung pada maksudnya. Untuk itu, Harjono menilai hakim MK harus menggali tindakan TSM yang disinggung pemohon kepada KPU. Apakah memang tindakan KPU bertujuan untuk memenangkan salah satu kontestan pemilu presiden atau tidak. Senada, saksi ahli yang dihadirkan pasangan Jokowi-JK, Saldi Isra mengatakan bahwa besarnya jumlah DPKTb tidak dapat dipersoalkan sebab hak untuk dipilih dan hak untuk memilih tidaklah sejalan atau linear. Selain itu, lanjutnya, tidak ada ketentuan mereka yang terdaftar dalam DPKTb hanya boleh menggunakan surat suara yang 2 persen. Dia menambahkan, justru ketika penyelenggara pemilu tidak mengijinkan pemilih yang tidak terdaftar di DPT, maka tindakan tersebut bisa dianggap menghalang-halangi hak pemilih. "Argumentasi lain terkait asumsi DPKTb menguntungkan salah satu pasangan calon ini sulit dibuktikan karena tidak ada satupun yang bisa membuktikan," tandasnya. (dod/jpnn)
|