JAKARTA - Harga Premium serta produk bahan bakar minyak yang disubsidi pemerintah mengalami kenaikan per 1 Maret 2015. Untuk Premium di luar wilayah Jawa, Madura, dan Bali, harganya ditetapkan naik Rp 100 menjadi Rp 6.800 per liter. Menurut juru bicara PT Pertamina (Persero), Ali Mundakir, harga Premium untuk penugasan turut
mengalami perubahan menyusul penetapan pemerintah tersebut. Mulai hari ini, harga Premium penugasan, yakni di wilayah Jawa, Madura, dan Bali, naik Rp 200 menjadi Rp 6.900 per liter. "Terkait dengan kebijakan harga BBM dari pemerintah, maka PT Pertamina (Persero) menetapkan harga baru BBM jenis umum gasolin RON 88—dengan merek dagang Premium yang didistribusikan di Jawa, Madura, dan Bali, harga semula Rp 6.700 per liter menjadi Rp 6.900 per liter," kata Ali dalam keterangan tertulis, Ahad (01/03). Sabtu, 28 Februari 2015, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memutuskan harga bensin berjenis RON 88 atau Premium naik Rp 200 per liter dari Rp 6.600 menjadi Rp 6.800. Harga ini berlaku untuk wilayah penugasan luar Jawa, Madura, dan Bali. Juru bicara Kementerian Energi, Saleh Abdurrahman, mengatakan kenaikan tersebut bertujuan menjaga kestabilan ekonomi pengelolaan harga dan logistik. "Harga minyak dunia masih mengalami fluktuasi dan ketidakstabilan harga terkait dengan pertentangan pelaku pasar minyak dalam menyikapi konflik di Libya, dan masih tingginya produksi shale oil di Amerika," katanya, Sabtu, 28 Februari. Pemerintah juga menetapkan harga minyak tanah Rp 2.500 dan solar Rp 6.400 per liter. Menurut Saleh, kenaikan MOPS (Mid Oil Platts Singapore, harga acuan Singapura) sepanjang Februari sebenarnya cukup signifikan. Namun pemerintah tidak menaikkan harga solar, melainkan hanya menaikkan harga jual eceran bensin Premium di luar Jawa, Madura, dan Bali Rp 200 per liter untuk menjaga stabilitas ekonomi dan mempertimbangkan selisih harga sepanjang Februari. Rata-rata harga indeks pasar minyak solar (MOPS Gasoil), menurut Saleh, sepanjang Februari mengalami kenaikan pada kisaran US$ 62-74 per barel, sementara MOPS Premium mengalami kenaikan pada kisaran US$ 55-70 per barel.
#Tidak Suka Naik Turun Terkait naik turunnya harga BBM dan gas elpiji 12 kilogram, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman mengaku cukup membingungkan pengusaha. Pasalnya pengusaha perlu memperhitungkan harga pembelian bahan baku dan harga jual untuk jangka panjang. ‘’Prinsipnya kita tidak suka naik-turun, membingungkan," ujarnya. Dia menerangkan, harus dibedakan antara pengaruh harga BBM terhadap aspek produksi dan distribusi. Kalau di tingkat produksi, pengusaha makanan dan minuman sudah terbiasa dengan gejolak harga BBM. Namun, menurutnya, yang perlu diwaspadai justru aspek distribusi. "Dari sisi distribusi kami tidak terbiasa dengan harga BBM yang naik-turun karena harus menghitung ulang tarif jasa pihak ketiga," katanya. Saat harga BBM turun pihak produsen mendesak perusahaan distribusi menurunkan tarifnya, sedangkan saat harga BBM naik pihak distributor mendesak pabrik untuk menaikkan pembayaran. Hal ini cukup membingungkan karena harga BBM berpotenai berubah setiap dua minggu sekali. "Repot sekali kami harus mengurusi hal-hal begitu setiap beberapa minggu. Mendingan ditetapkan saja harganya di angka tertentu untuk jangka setengah tahun," tandasnya. Sebagai solusi untuk mengatasi kerepotan ini, dia mengusulkan kepada pihak-pihak terkait, untuk membuat kesepakatan biaya angkutan darat, laut maupun udara. Dengan begitu tidak terjadi kesalahpahaman antara pihak produsen dengan distributor. "Misal harga BBM naik Rp 500 maka tarif transportasinya akan dinaikan berapa persen, begitu juga sebaliknya kalau harga BBM turun pengaruhnya berapa," ungkapnya. Adhi berpandangan, pemerintah berperan sangat penting dalam merumuskan kesepakatan penyesuaian tarif angkutan karena bisa menjadi fasilitator. Apalagi sebagian pihak terkait distribusi dipegang oleh BUMN."Misalnya tarif pelabuhan. Kemudian beberapa jaringan pelabuhan dipegang oleh pemerintah melalui BUMN. Pemerintah harus memberikan contoh yang baik agar iklim usaha kondusif," katanya. Demikian juga terkait dengan naik turunnnya harga gas elpiji 12 kilogram (non subsidi), Adhi menilai cukup merepotkan bagi industri makanan dan minuman. Meskipun beberapa waktu lalu sempat turun, namun saat ini kembali dinaikkan."Yang harus diwaspadai justru disparitas harga dengan harga elpiji 3 kilogram, semakin tinggi harga gas 12 kilogram maka semakin tinggi potensi terjadi pengoplosan," sebutnya. (wir/jpnn)
|