Interaksi sosial yang terjadi diantara anggota masyarakat terkadang menimbulkan gesekan-gesekan yang mengakibatkan penyimpangan norma yang berlaku. Masuk ke dalam kawasan jalan setapak panjangnya sekitar 200 meter, sejumlah pria menunggu disebuah pos keamanan. Untuk masuk ke lokasi tersebut, harus membayar Rp 2.000. Kemudian masuk melalui lorong, bahkan banyak lorong-lorong tikus yang bisa mengakses kampung baru dari lorong-lorong lain. Dianggap sebagai kawasan ‘Texas’ yang ada di Amerika, Kampung Baru terkenal dengan para tamu bebas berjoget, membooking cewek yang menunggu di luar ruangan kafe maupun PSK yang berjejer di lorong-lorong. Dilihat sepintas, Kampung Baru mirip perkampungan kumuh disudut kota berlabel metropolis. Rumah-rumah semi permanen dan bertingkat, seakan tumpuk menumpuk kurang tertata. Yang membedakan adalah keberadaan rumah-rumah warga yang merangkap sebagai tempat bordil. Rumah tersebut terbuat dari kayu, ada yang menyerupai rumah panggung, ada pula yang memanjang dan berbentuk bedeng-bedeng tentunya. Siang hari, situasi Kampung Baru terlihat sepi. Yang terlihat hanya kambing dan anjing berseliweran. Beberapa pria terlihat nongkrong dengan tatapan mata tajam mengawasi setiap tamu yang datang, sementara para PSK sebagian besar beristirahat. Ibu penjaga warung ini mengaku sudah 10 tahun bermukim di Kampung Baru. Ia memulai usahanya dengan warung manisan. Lambat laun ia bisa menabung dan membeli warung kecil di dalam komplek. “Waktu ribut-ribut kampung ini mau ditutup tahun 2001, suasana di dalam kampung saat penutupan sempat “panas”. Aksi penolakan juga marak bermunculan, karena penghuni lokalisasi tak mau di relokasi ke tempat lain. Janji pemerintah waktu itu juga macam-macam. Kita mau dikasih usaha ternak ayam dan lain-lain. Bahkan ada kabar tempat ini akan dijadikan tempat karaoke, tapi dak ada realisasi sampai sekarang. Bahkan prostitusi masih berlangsung,” kata ibu yang tak mau disebutkan namanya itu saat ditemui di warungnya. Dijelaskan ibu empat anak itu, waktu gencar akan dilakukan penutupan, gencar sekali ada isu cuka para, parang dan tombak yang disiapkan warga untuk mengantisipasi petugas yang akan menutup tempat itu. ‘’Idak tau tu, pokoknya sampai sekarang nggak ada lagi razia masuk kesini. Mungkin petugas takut atau malas ngeladeni warga sini, jadi terkesan dibiarkan,” ujarnya. Ketika ditanya apakah hidup sebagai orang normal temasuk kedua anak perempuannya yang tinggal berbaur dengan PSK yang ada di lokalisasi itu? “Mau gimana lagi dek, mau cari tempat lain idak ado duit, jadi betahan bae. Biarlah orang mau bicara apa, yang pasti keluarga kami normal layaknya warga lain dan bukan pelacur,” bebernya. Salah seorang pengunjung yang dibincangi mengaku kerasan, karena selama di Kampung Baru nyaris tak pernah ada razia dari petugas. Warga di Kampung Baru, katanya, juga sangat bersahabat dengan pendatang. Tarifnya juga beragam, untuk satu kali “main” Rp 100- 300 ribu. “Tapi yang itu tadi, bagi PSK “pemain lama”, yang sudah berumur, biasanya sampai “banting harga”,” kata salah seorang pengunjung asal Desa Gasing, Banyuasin. Tapi, untuk kencan lebih jauh, para PSK di Kampung Baru ternyata ada juga yang jual-jual mahal. “Ya, biasanya kalo belum kenal betul dianya (PSK,red) dak mau,” kata seorang ibu penjaga warung. “Memang, ada juga tamu yang jadi kesal maksa mau “main” (berhubungan,red), tapi ya itu tadi kalau belum kenal mereka juga dak mau,” ulasnya. Disinggung tentang Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan No. 573 tahun 2001, tentang Penutupan Kawasan Lokalisasi Teratai Putih memang tak bisa dilaksanakan hingga saat ini? “Tau tapi buktinya masih bae berlangsung prostitusi di lokasi ini. Bahkan banyak kafe dan diskotek itu juga idak tau ado ijin apo idak. Dirazia jugo jarang apo lagi nak ditutup,” terangnya. Bukan hanya prostitusi yang ada di Kampung Baru, aku pria dua anak itu, minuman keras, narkoba juga beredar di tempat tersebut. “Banyak tamu yang mengaku betah bersenang-senang disana, karena aman, jarang di sentuh oleh petugas,” tukasnya. (cr04)
|