Jakarta, Palembang Pos.–
Muhammad Nazaruddin ditegur Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, Dharmawati Ningsih. Terdakwa suap proyek wisma atlet SEA Games di Palembang ini, ditegur Hakim saat membacakan pledoi. Hakim menegur Nazaruddin saat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu menuding Jaksa Penuntut Umum telah merekayasa kasusnya. Saat itu, Nazaruddin tidak sedang membaca
tetapi melihat ke arah Jaksa. Hakim menduga, Nazaruddin sedang mengarang dan tidak membaca apa yang tertulis dalam nota pembelaan pribadinya. "Silakan terdakwa membacakan apa yang tertulis dalam pledoi saudara," tegur Hakim Dharmawati saat persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin 9 April 2012. "Yang Mulia, saya tidak menambah-nambahi. Apa yang saya sampaikan sesuai dengan yang saya tulis, karena saya tulis (pledoi) ini sendiri. Makanya saya hafal," sahut Nazaruddin. Majelis Hakim selanjutnya memerintahkan Nazaruddin kembali membacakan nota pembelaan pribadinya. Sebelumnya, eks Bendahara Umum Partai Demokrat itu dituntut hukuman tujuh tahun penjara serta denda Rp 300 juta, subsider enam bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum. Jaksa menilai, Nazaruddin selaku anggota DPR RI terbukti mengatur PT Duta Graha Indah (PT DGI) untuk mendapatkan proyek pembangunan wisma atlet. PT DGI akhirnya memberikan fee 13 persen kepada Nazaruddin dari total keseluruhan biaya proyek sebesar Rp 191,6 miliar atau senilai Rp 25 miliar. Namun, Nazaruddin baru menerima cek dari Direktur Marketing PT DGI, M Idris, sebesar Rp 4,6 miliar dalam bentuk lima lembar cek. Lima lembar cek itu sendiri, kemudian telah dicairkan oleh Wakil Direktur PT Permai Group, perusahaan milik Nazaruddin, Yulianis. Uang itu disimpan dalam sebuah brankas di kantor PT Permai Group, Warung Buncit Jakarta.
Betapa Saktinya Anas Pengacara terdakwa suap wisma atlet Muhammad Nazaruddin, Elza Syarief, menilai kasus yang menjerat kliennya penuh rekayasa. Salah satu sebabnya adalah Hakim tidak pernah menghadirkan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam persidangan. "Betapa saktinya Anas hingga KPK tidak bisa menjeratnya. Bahkan untuk dihadirkan sebagai saksi sekalipun. Anas sangat powerfull," kata Elza Syarif saat membacakan nota pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin 9 April 2012. Atas dasar itu, Elsa memaklumi mengapa Jaksa KPK takut menuliskan nama Anas Urbaningrum di dalam tuntutan KPK. Sehingga tim JPU sampai harus melakukan pemutarbalikkan fakta untuk menyelamatkan Anas Urbaningrum. "Kami berharap majelis hakim tidak terpengaruh pada kekuasaan. Kami tidak sampai hati menyatakan curiga ke tim JPU KPK," ujarnya. Tak hanya itu, Elza Syarief juga menganggap Nazaruddin berhak menghirup kebebasan. "Sejak penangkapannya, Nazaruddin bagai whistle blower yang mengungkap beragam kasus korupsi. Dan dia berhak mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban," ujarnya. Dalam pledoi pribadinya, Nazaruddin menaruh harapan kepada Majelis Hakim untuk memeriksa dan mengadili perkaranya dengan adil dan teliti. Serta memutuskan perkara ini sesuai fakta dan hukum tanpa ada intervensi pihak manapun. "Saya benar-benar tidak tahu menahu soal proyek wisma atlet apalagi terbukti dan menerima uang senilai Rp 4,6 miliar. Saya hanya korban yang sengaja direkayasa untuk menutupi tindakan pidana yang terlanjur meledak karena tertangkapnya Mindo Rosalina Manulang, Mohammad El Idris, dan Wafid Muharram," tutur Nazar. "Oleh karena perbuatan tersebut dikendalikan penguasa negeri ini Anas Urbaningrum sebagai Ketum Partai Demokrat yang merupakan partai penguasa negeri ini sehingga seolah-olah wajib dilindungi dan saya sebagai kader yang dekat dengannya dijadikan tumbal," ujarnya. Anas telah membantah segala tudingan mantan koleganya yang menyebutkan dirinya terlibat dalam kasus wisma atlet dan korupsi Hambalang. Bahkan Anas berjanji, jika terbukti terlibat dia siap digantung di Monas. "Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas (monumen nasional)," tegasnya, Jumat 9 Maret 2012. (net/jpnn) |