MUARA ENIM - Pertamina BUMN bidang minyak dan gas bumi (Migas), mengaku tak tahu menahu soal Dana Bagi Hasil (DBH) Migas kepada daerah penghasil.
Soalnya, pembagian DBH Migas itu sepenuhnya kewenangan Kementerian Keuangan (Menkeu).
Penegasan itu disampaikan PR Analisty Pertamina EP Aset II Prabumulih, Victorio Chat kepada awak media dalam press gathering di Muara Enim, kemarin.
“Menjawab pertanyaan wartawan, DBH Migas belum disetorkan ke daerah yang dikeluhkan daerah, perlu kami jelaskan tugas Pertamina hanya memproduksi minyak dan gas bumi saja,” jelas Victoro.
Sedangkan, kenapa belum disetorkan kepada daerah oleh Kemenkeu, bukan kewenangan Pertamina.
Hasil penjualan produksi Migas tersebut, disetorkan kepada negara melalui Kementerian Keruangan. Selanjutnya, Kementerian Keuangan yang membagi kembali kepada masing masing daerah penghasil.
Pada 2013 lalu, DBH Migas Sumsel mencapai Rp 3 triliun lebih.
Namun pada 2015, DBH Migas Sumsel turun menjadi Rp 2,9 triliun.
Itu disebabkan, turunnya harga minyak dunia sekitar 40 dollar/barel yang sebelumnya mencapai 100 dollar lebih per barel.
Dia mengaku, produksi Migas yang dihasilkan setiap hari mengalami fluktuatif. Namun berapapun jumlah produksi, seluruhnya dilaporkan kepada Kemenkeu.
Dijelaskannya, khusus Pertamina EP II Prabumulih, hingga Juni 2016 lalu, produksi minyak 16.967 bopd atau sebesar 95 persen. Sedangkan produksi gas bumi sebesar 439 MMSCFD atau 98.8 persen.
Dia mengaku, saat ini Indonesia tengah mengalami krisis energi terutama minyak.
Hal itu disebabkan, tidak sebandingnya jumlah minyak yang diproduksi dengan kebutuhan konsumsi.
“Jadi kondisi produksi minyak kita berbanding terbalik dengan kebutuhan konsumsi,” jelasnya.
Saat ini, Pemerintah memberi target kepada Pertamina untuk memproduksi minyak 800 ribu barel/hari.
Untuk memenuhi target tersebut, pihaknya terus mengupayakan pembukaan sumur baru. Namun, mengalami kendala anggaran, akibat harga minyak dunia mengalami penurunan.
Saat ini, Pertamina EP Aset II Prabumulih telah membuka 8 sumur dan 3 sumur yang sudah mulai berproduksi.
Perlu diketahui, karakteristik industri Migas high cost yakni biaya tinggi untuk mengebor satu sumur memerlukan biaya puluhan ribu dollar.
Kemudian high tech yakni memerlukan teknologi tinggi dan memiliki high risk yakni resiko tinggi. (luk)
No Responses