##Terkait Lambang Salip
di Gedung Lippo Plaza
Pemasangan lambang salib di gedung Lippo Plaza Lubuklinggau, menuai protes luas masyarakat. Terlebih lagi, sebelumnya sempat tersiar kabar adanya larangan karyawan berhijab.
Kondisi ini, disayangkan banyak pihak, manajemen Lippo dituding sebagai biang keladinya.
Alhasil, sejumlah Organisasi Kepemudaan (OKP) Islam tergabung dalam Aliansi Pemuda Islam melakukan aksi protes ke gedung DPRD Lubuklinggau, Senin (28/11), lalu.
Dalam aksi itu, massa mendesak Pemkot Lubuklinggau, agar manajemen Lippo mencabut lambang salib yang ada di gedung Lippo Plaza.
Pemerintah juga diimbau agar intens mengawasi perusahaan yang dinilai memiliki misi dalam pendirian perusahaannya.
Selain itu, Pemerintah juga diminta memberikan edaran kepada seluruh perusahaan Lippo Group untuk tidak melakukan diskriminasi atau melarang karyawatinya berhijab.
Pemkot Lubuklinggau juga didesak untuk mengkaji ulang izin Rumah Sakit Siloam.
Ketua KAMMI Silampari, Sepriyanto menegaskan, pihaknya menyesali kelalaian dari Pemerintah. Sehingga ada lambang salib di gedung yang baru saja diresmikan tersebut.
“Pemasangan lambang salib di gedung Lippo Plaza, ditengah mayoritas muslim dapat melukai perasaan umat Islam,” ujar Sepriyanto.
Sebagai komponen pemuda, KAMMI dan elemen pemuda Islam lainnya seperti IMM, Pemuda
Muhammadiyah, Pemuda Anshor, HMI dan elemen pemuda Islam lainnya tergabung dalam aksi protes di gedung dewan.
Pandangan berbeda disampaikan Humas NU Lubuklinggau, H A Wahyudin. Menurutnya setiap perusahaan memiliki logo masing-masing. Suatu kewajaran jika pihak Lippo khususnya RS Siloam, memasang logo perusahaannya yang kebetulan memang ada tanda salibnya karena memang RS tersebut RS Kristen.
Itu semua, lanjut Wahyudin, justru mempermuda identifikasi bagi umat Islam. Diibaratkan warung bakso, lebih baik ditulis bakso daging babi, dari pada bakso daging sapi tetapi isinya daging babi.
“Kalau dituliskan warung bakso daging babi, kita yang muslim sudah jelas artinya jangan masuk dan beli bakso di situ,” katanya.
Sama halnya dengan pemasangan logo RS Siloam. Dengan logo tersebut, orang tahu bahwa itu RS Kristen. Sehingga mempermuda identifkasi orang yang pergi berobat kesana. “Misalnya saya pergi berobat ke sana, orang akan lihat, kok berobatnya kesana padahal saya muslim,” ujarnya.
Pemasangan logo tersebut justru dinilainya sebagai bentuk transparansi. Hal itu menurut Wahyudin, menjadi penting agar umat islam tahu itu RS Kristen.
Itu juga dikatakan Wahyudin, harusnya menjadi bahan intopeksi, mengapa tidak ada RS Islam sekelas itu di Lubuklinggau.
“Kita lihat RS AR Bunda itu RS pribadi bukan RS Islam, kenapa kita juga tidak bangun RS sekelas itu,” tegas Wahyudin.
Sebelumnya, pimpinan pondok pesantren Al Furqon ini, juga sempat menyayangkan adanya larangan karyawan yang berhijab. Hal itu menurut Wahyudin, merupakan bentuk dikriminasi terhadap masyarakat yang harusnya memiliki hak yang sama untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
‘’Untuk zaman sekarang tidak perlu lagi ada diskriminasi,” tegas Wahyudin.
Terlebih lanjut Wahyudin, mayoritas warga Lubuklinggau muslim. Untuk itu diharapkan pihak perusahaan tidak mempersulit situasi. “Berhijab atau tidak berhijab, tidak ada pengaruhnya sama kinerja karyawan, jadi jangan sampai ada diskriminasi,” tegas Wahyudin.
Sementara, anggota DPRD Lubuklinggau, H Suhada menyatakan investor diminta tidak melakukan diskriminasi.
Terlebih, dalam Peaturan Daerah (Perda) Lubuklinggau No 4 Tahun 2015 tentang tenaga kerja lokal, sudah dicantumkan tidak ada diskriminsi dalam bekerja.
“Jadi karyawan muslim yang ingin berhijab jangan dilarang. Sebaliknya yang tidak mau berhijab juga jangan dipaksakan,” tegas Suhada.
Terpisah, Manager Lippo Plaza, Edwar mengakui bahwa pemasangan logo di gedung Lippo Plaza yang menuai protes tersebut, sempat terjadi.
Tetapi logo itu merupakan logo RS Siloam, bukan logo Matahari. “Kebetulan memang bangunannya nyambung, tetapi perusahaannya berbeda,” ujar Edwar.
Dijelaskan Edwar, Matahari memiliki logo sendiri begitu pun RS Siloam. “Kebetulan RS Siloam logonya seperti itu adanya (ada lambang salib.red),” ujar Edwar.
Tetapi, lanjut Edwar, setelah ada aspirasi masyarakat dengan waktu sesingkat-singkatnya, logo itu sudah dilepas.
Kedepan, lanjut Edwar, mengenai persoalan pemasangan logo, pihaknya tidak tahu. Sebenarnya persoalan tersebut bukanlah domainnya.
“Domain saya di mall, kebetulan bangunannya nyambung, tetapi berbeda dengan RS Siloam,” ungkap Edwar.
Namun, pihaknya akan tetap koordinasi dengan pihak RS Siloam karena sampai saat ini, pihak RS Siloam sendiri belum berada di Lubuklinggau.
“Mungkin nanti menjelang beroperasinya Siloam, baru ada kejelasan soal logo RS, tersebut,” terangnya.
Sedangkan, soal isu larangan berhijab, Store Manajer Matahari Lubuklinggau, Ahmad Taufik Zulfikar menjelaskan, tak pernah ada diskriminasi karyawan di perusahaan Lippo Group. Khususnya di Matahari Departemen Store.
Diakui Taufik, isu tak sedap muncul sebelum beroperasinya Matahari Departemen Store. Persoalan tersebut, juga sudah diklarifikasikan kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Lubuklinggau dan juga DPRD Lubuklinggau. Namun entah bagaimana isu tersebut mencuat dan semakin panas.
Taufik juga tak menapik adanya standar berpakaian di Matahari Departemen Store. Namun, dia membantah keras jika ada larangan berhijab.
“Karyawan kita di Lubuklinggau yang memakai jilbab memang tak banyak ada sekitar 20 orang dari total 220 karyawan,” ungkap Taufik.
Dijelaskan Taufik, standar berpakaian Matahari Departemen Store ada 2 tipe, yakni tipe rok dan tipe celana panjang.
“Khusus yang memakai jilab standar yang memakai celana panjang,” jelas Taufik.
Perpaduan warna untuk standar Matahari Departemen Store, dikatakan Taufik, merah dan abu-abu. Di Lubuklinggau, jilbab disesuaikan dengan warna baju yakni warna merah.
Sedangkan di Departemen Store lainnya ada yang warna abu-abu. “Kalau kita perpaduannya merah-merah,” pungkasnya. (yat)
No Responses