Perdagangan satwa liar dilindungi masih marak terjadi. Hukuman ringan disertai denda sedikit membuat para pelaku, belum merasakan efek jera.
Alasan ekonomi dan faktor usia pelaku yang telah lanjut merupakan alasan membuat palu hakim tak garang tanpa melihat dampak kerusakan ekologis yang ditimbulkan.
“Salah satu penyebab masih maraknya kasus jual beli ilegal dan perburuan satwa liar dilindungi adalah rendahnya vonis. Itu karena isu satwa liar dipandang kurang penting,” ujar Noviar Andayani, aktifis lingkungan.
Noviar mengatakan, perdagangan satwa liar merupakan ancaman paling serius bagi satwa-satwa di Indonesia seperti badak, harimau, gajah, dan trenggiling.
UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta, dianggap sudah tidak efektif.
Aturan hukum yang telah berusia 25 tahun itu, belum memberikan vonis minimal sehingga pelaku acapkali hanya dihukum dalam hitungan bulan.
Mengapa putusan hakim tidak maksimal? Menurut dia, ada beberapa hal yang harus dikritisi. Pertama, bisa jadi hakim hanya melihat barang bukti yang didapat saat penangkapan.
Misal satu atau dua satwa saja, sehingga melunturkan latar belakang pelaku yang telah tahunan melakukan kegiatan haram tersebut.
Jika pelaku berusia lanjut, misal di atas 60 tahun, maka makin lengkap alasan itu untuk tidak ditolak.
Ketiga, bisa jadi isu perdagangan satwa belum menjadi prioritas hakim. Untuk itu, UU Nomor 5 Tahun 1990 harus direvisi. Sanksi hukum harus dibuat minimal dan maksimal agar benar-benar ada efek jera.
Misal, minimal setahun dan maksimal 10 tahun dan denda Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Sehingga, hakim ada patokan.
Saat ini denda hanya satu atau dua juta rupiah, sedangkan keuntungan yang didapat lebih besar dari risiko yang diterima.
Artinya, para pelaku telah mengetahui bahwa tindakan mereka melanggar hukum. Hanya, karena vonisnya yang rendah mereka berani melanggar dan terus berburu. (adi)
No Responses