BANDUNG - Persaingan Joko Widodo (Jokowi), dan Prabowo Subianto, dalam memperebutkan kursi presiden, diprediksi kembali terulang di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Kian terlihat partai-partai politik (parpol) besar berniat mengusung dua tokoh yang sempat bertarung sengit pada pemilihan presiden 2014 lalu itu.
Seperti diketahui, Partai Golkar sudah mendeklarasikan niatnya mengusung Jokowi di pilpres mendatang. Langkah ini kemungkinan besar bakal diikuti oleh PDI Perjuangan, dan partai-partai pendukung pemerintahan lainnya.
Sementara itu, Partai Gerindra, yang saat ini jadi kekuatan oposisi terbesar, juga sudah memastikan bakal kembali mengusung sang Ketua Umum Prabowo Subianto. Jika rencana ini terealisasi, artinya Gerindra telah mengusung Prabowo di tiga pemilihan presiden berturut-turut.
“Kami tetap mengusung Pak Prabowo sebagai capres kami, karena memang elektoralnya tinggi, pemikiran dan ketokohan paling kuat,” ungkap Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon kepada wartawan dalam acara Promosi Gelar Doktor Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Herman Khaeron di Universitas Padjajaran, Bandung.
Bukti elektoral Prabowo kuat, sambung wakil Ketua DPR RI itu, pada Pilpres 2014 perbedaan suara yang diraih antara Jokowi dan Prabowo hanya sedikit saja. “Pemilu lalu kan tinggal dikit perbedaan dengan pemenang. Modal politik Pak Prabowo kan sudah sangat tinggi. Kita akan calonkan Prabowo,” katanya.
Dia yakin ketokohan Prabowo masih laku dijual pada Pilpres 2019 nanti, dan memungkinkan ada partai lain yang juga mengusungnya nanti. “Lihat aja aturannya kalau itu memungkinkan mengapa tidak, karena ujung-ujungnya akan koalisi,” ujar Fadli.
Ditanya kemungkinan Jokowi dan Prabowo bakal ‘head to head’ lagi di Pilpres 2019? Ketua HKTI itu tak merasa khawatir. “Gak ada masalah, rakyat akan liat apakah kepemimpinan sekarang berhasil atau nggak. Rakyat akan pilih yang mampu kebangkitan Indonesia,” imbuhnya. Diakui, saat ini memang hanya Prabowo dan Jokowi yang mempunyai tingkat popularitas dan elektabilitas yang kuat dari tokoh-tokoh yang ada di Indonesia.
Lalu bagaimana dengan sikap Partai Golkar yang mengusung Jokowi? Fadli enggan mencampuri urusan rumah tangga partai lain. “Saya tidak mau mencampuri ranah itu, biarkan saja karena partai punya starategi dan pemikiran sendiri. Saya kira pemilu masih jauh dan banyak perubahan,” pungkasnya.
Sementara itu, Partai Golkar akan menggelar Rapat Pimpinan Nasional (rapimnas) pertama mulai dari tanggal 27 sampai 28 Juli 2016 di Jakarta. Presiden Joko Widodo direncanakan hadir pada penutupan rapimnas.
Hal tersebut dikatakan Ketua DPP Partai Golkar, Tantowi Yahya, di Gedung DPR, Senayan Jakarta, Jumat (22/7). “Rapimnas pertama Partai Golkar 2016 akan dibuka pada 27Juli, dilanjutkan sidang-sidang komisi sampai 28 Juli sore. Tanggal 28 penutupan di Istora. Penutupan akan hadir Presiden Joko Widodo,” kata Tantowi.
Agenda utama rapimnas lanjutnya, pembahasan isu terkini mengenai sistem pemilu presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg) tahun 2019 dan perkembangan politik di daerah, khususnya di DKI Jakarta dan konstelasi politik di 2019.
“Salah satu inti yang akan dibahas dalam rapimnas mengenai penguatan dukungan Partai Golkar kepada pemerintah sampai 2019. Ini amanat rapimnas Januari lalu dan juga penguatan formalisasi dukungan ke Joko Widodo dalam pilpres 2019,” ungkap Tantowi.
Anggota Komisi I DPR itu menegaskan bahwa dukungan terhadap Jokowi didasarkan pada kinerja yang ditunjukkannya. “Di samping itu, sekaligus memberikan konfirmasi ke publik bahwa Ketua Umum Golkar Pak Setya Novanto membuat tradisi baru bahwa ketua umum partai tidak selalu jadi calon presiden. Ada tokoh yang punya potensi besar, Golkar akan memberikan dukungan kepada tokoh tersebut,” pungkasnya.
#Keberatan Parlementary Treshold Naik 7 Persen
Terpisah, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPR Reni Marlinawati mengatakan, pihaknya sangat keberatan jika ambang batas (parlementary treshold) partai politik lolos ke DPR menjadi tujuh persen. Sebab menurutnya, dengan angka 3,5 persen saja jutaan suara pemilih terbuang.
“Pemilu yang lalu, ketika parlementary treshold 3,5 persen saja, hampir 20 juta suara pemilih tidak terpakai. Apalagi sekarang diwacanakan tujuh persen. Akan semakin banyak suara pemilih terbuang,” kata Reni, menjawab pertanyan wartawan, di Gedung DPR, Senayan Jakarta, Jumat (22/7).
Sebagai satu wacana lanjutnya, tidak ada yang salah kalau ambang batas dinaikan. Tapi PPP akan melakukan kajian terhadap wacana tersebut. “Sah saja, namanya wacana. Itu urusan masing-masing. Tapi kalau PPP akan melakukan kajian rasional dan berdasarkan pengalaman yang lalu-lalu,” ujarnya.
Tapi kalau wacana tujuh persen yang jadi rujukan, Reni memastikan PPP akan menolak. “Angka yang demokratis mungkin pada empat atau 4,5 persen. Jadi tidak terlalu ekstrim. Kalau semakin tinggi presentase yang ditetapkan, akan semakin banyak suara pemilih yang terbuang,” pungkasnya.
Di sisi lain, Ketua Fraksi Partai Demokrat (FPD) DPR RI, Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas mengatakan fraksinya memiliki atensi besar terhadap pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden serta pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD (legislatif) yang akan digelar pada 2019 mendatang.
“Sejauh ini Demokrat dan FPD belum menentukan kemungkinan menaikan ambang batas dalam pemilu baik pilpres maupun legislatif. Namun kami siap membahas sedini mungkin hal ini untuk persiapan pemilu ke depan yang berkualitas,” kata Ibas.
Meski pelaksanaan pemilu masih sekitar tiga tahun lagi, Ibas berharap pemerintah dan DPR harus segera menyiapkan payung hukum agar pelaksanaan pemilu bisa berjalan dengan baik dan demokratis.
“Kami sepakat bahwa sistem demokrasi adalah yang terbaik untuk mewujudkan kedaulatan dalam memilih dan dipilih secara langsung. Oleh karenanya segala persiapan pemilu khususnya payung hukum harus segera dibahas bersama,” pintanya.
Lebih lanjut, anggota Komisi X DPR ini mengingatkan pentingnya pelaksanaan pemilu yang efisien dan efektif. Tapi, kata Ibas, alasan efisiensi dan efektifitas jangan sampai mengorbankan esensi demokrasi yaitu kedaulatan rakyat.
“Mengawal sistem pemilu multipartai yang lebih sederhana dan kuat itu sebuah cita-cita. Tetapi demokrasi juga harus diartikan sebagai proses besar dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, bukan sekedar membatasi hak-hak memilih dan dipilih untuk tujuan besar bangsa,” tegasnya.
Ibas berharap pesta demokrasi dapat menumbuhkan semangat bersama dari semua komponen bangsa dalam mengawal pelaksanaan pemilu. DPR dan Pemerintah serta masyarakat ujarnya, agar memberi waktu yang cukup bagi KPU untuk menyiapkan cara baru pesta demokrasi di Tanah Air.
“Kita tidak bisa melihat hanya seberapa besar ambang batasnya saja, melainkan kualitas demokrasinya itu sendiri tentu harus diikuti dengan semangat bersama menuju Indonesia yang jauh lebih baik, maju, adil dan sejahtera,” pungkas wakil rakyat dari daerah pemilihan Jawa Timur VII itu. (aen/dil/fas/jpnn)
No Responses